PendahuluanUndang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dikenal dengan sebutan UU Desa telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa.Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa
Selainitu, kondisi geografis Indonesia juga membentuk Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau. Jika mengikuti pembagian iklim berdasarkan lintang, maka Indonesia terletak di iklim tropis. Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam
LingkupKearifan Lokal Kalimantan Tengah diantaranya: 1. Pengetahuan Lokal Pengetahuan lokal menyangkut tentang lingkungan hidupnya yang berhubungan dengan perubahan siklus dan iklim, jenis flora dan fauna, kondisi geografis, demografis dan sosiografis. 2. Budaya Lokal/Adat Istiadat: Budaya Handep, hapakat, haruyung,
11. Pengaruh Budaya Asing terhadap Sistem Religi / Kepercayaan. Bergesernya sistem religi yang berakar pada kepercayaan tradisional menuju sistem religi yang berlandaskan ajaran agama, merupakan contoh konkret adanya pengaruh kebudayaan asing terhadap kebudayaan lokal. Bangsa Indonesia pada awalnya menganut sistem kepercayaan kepada roh-roh
Dampakmasuknya budaya asing antara lain. terjadi perubahan kebudayaan, pembauran kebudayaan, modernisasi, keguncangan budaya, melemahnya nilai-nilai budaya bangsa. Dampak tersebut membawa pengaruh besar bagi Indonesia, baik dari segi postif, maupun negatif. Indonesia, masih terlalu lemah dalam menyaring budaya yang baik di ambil dengan yang
iKKCv. Skip to contentJakartaTangerangBekasiPendaftaranBeasiswaAkses CepatSistem Informasi AkademikBlog DosenBlog MahasiswaDigital LibraryE-JurnalGreen CampusLowongan Universitas Esa UnggulMBKMNewsletterOnline LearningOrang TuaRepositorySeminar WebTalkshow RadioKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKEARIFAN LOKAL, PENGETAHUAN LOKAL DAN DEGRADASI LINGKUNGANErwan Baharudin Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Esa Unggul, Jakarta Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510 Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita, menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian terjadilah kontestasi antara pihak-pihak yang terkait dengan kepentingannya dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kemajuan teknologi, eksploitasi tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke baik oleh Negara, perusahaan dan masyarakat sendiri. Hal itu dengan sendirinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan terjadilah bencana alam yang memakan korban. Bencana alam tersebut ada dua penyebab, yang pertama karena ulah manusia dan yang kedua merupakan fenomena alam. Dengan adanya kearifan dan pengetahuan lokal, maka bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan local tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan reason, tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan local unreason tersebut tidak dapat diabaikan keberadaannya. Kata Kunci Eksploitasi, Degradasi Lingkungan, Kearifan dan Pengetahuan Lokal PendahuluanSumberdaya alam darat dan laut merupakan aset yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat baik dari aspek ekonomi, so-sial, hukum dan politik. Sumberdaya alam terdiri dari sumber alam yang bisa diper-barui seperti hutan, perikanan, dan lain-lain, dan sumber alam yang tidak bisa di-perbarui seperti minyak, batu bara, gas alam, dan lain-lain. Dari sudut pemakaian sumberdaya alam yang tidak bisa diperba-rui harus dikelola dan dipakai secara bijak-sana. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam pengelolaannya, antara negara dengan maÂsyarakat lokal banyak sekali terjadi kon-flik-konflik, yang biasanya berawal dari aktivitas eksploitasi dan terjadinya degraÂdasi lingkungan, seperti semakin menipis-nya hutan, rusaknya komoditas laut akibat pengeboman oleh nelayan, dan lain-lain. Hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya berkaitan erat dengan proses perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada ling-kungannya akan berpengaruh balik ter-hadap ekologi yang ada di sekitarnya yang bisa berarti positif dan negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilakuÂkan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Sejalan dengan pengelolaan sum-berdaya alam secara lestari adalah penting untuk bisa mengembangkan gaya dan pola hidup yang serasi dengan kemampuan daya dukung alam. Dalam hubungan ini maka pengembangan teknologi yang serasi deÂngan keperluan menyerap tenaga dan pe-ningkatan daya dukung alam menjadi penting. Persoalaannya adalah bahwa dunia internasional mengembangkan teknologi yang padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara maju yang banyak melahirkan inovasi dan teknologi baru. Sebaliknya Negara Negara dunia ke-tiga kurang memiliki modal dan kesem-patan menyebarluaskan teknologi yang lebih serasi dengan lingkungan tanah air-nya. Disamping itu keadaan persaingan dunia dan desakan waktu mendorong maÂnusia untuk memperhatikan dan kemajuan tekÂnologi dari waktu ke waktu sangat mem-pengaruhi perubahan-perubahan dan per-tumbuhan masyarakat, urbanisasi, per-tanian, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain tidak terlepas dari pertumbuhan ruang lingkup kebudayaan dalam suatu dalam lingkunganSecara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-sistem. Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan de-mikian manusia adalah satu kesatuanterpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fungÂsional tersebut manusia dan lingkuÂngan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara kese-luruhan. Untuk mencapai keselarasan, ke-serasian, dan keseimbangan antar subsisÂtem dalam ekosistem diperlukan sistem peÂngelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda Politik pembangunan – terutama-di negara-negara berkembang yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonoÂmi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan permasalahan di bi-dang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan belebihan sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung sumber daya alam tersebut. Untuk mengejar kemakmu-ran, sumber daya alam dipandang sebagai faktor produksi untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi, tanpa memperhatiÂkan ini alam di Indonesia banyak mengalami perubahan lingkungan, banyak musibah seperti banjir besar, tanah longsor, satwa yang menyerang manusia. Jika lingkungan yang sekarang ini diban-dingkan dengan 20 tahun yang lalu, terjadi perbedaan yang sangat timpang, dimana terasa sekali terjadinya perubahan perubaÂhan lingkungan seperti kota maupun desa semakin padat dan kotor, kendaraan ber-motor semakin banyak dan menyebabkan polusi, hutan semakin sempit dan gundul, bukit bukit juga semakin berkurang kerin-dangannya, musim kemarau lebih panas, dan pada musim hujan terjadi banjir orang menyatakan bahwa biang kerusakan lingkungan alam sejauh berhubungandengan manusia adalah akti-vitas-aktivitas industri kapitalis modern. Desakan persaingan di bidang industri yang merupakan prinsip kapitalisme melahirkan berbagai tindakan yang lepas kontrol dalam pendayagunaan atau pengolahan sumber daya alam untuk kebutuhan industri dan dalam penerapan teknologi industri yang tidak mempertimbangkan kondisi alam. PeÂnerapan teknologi canggih dalam industri memungkinkan pengolahan sumber daya alam secara cepat dan ekstensif. Dengan demikian terjadi percepatan dalam proses mengakumulasi modal dan konsumsi. Inilah logika kapitalisme. Tetapi logika itu bermuara secara tragis pada percepatan tempo kehidupan secara total. Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpahruahan ter-sebut ada beban berat yang dipikul oleh bu-mi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehan-curan ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu dua faktor penyebab terja-dinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk seÂtempat yang mengeksploitasi hutan/ lingÂkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut be-rikut ini bersifat tidak Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan rumah”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liarKebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyo-kong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujud-kan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup hanya menjadi “penon-ton” pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan peri-kanan. Mereka ini karena terpaksa mengga-rap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegununganDampak In-dustrialisasi. Dalam proses industrialisasi ini antara lain termasuk industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya. Inilah awal mula eksploiÂtasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak kalangan terlibat di dalamnya. Ke-untungan yang demikian besar dalam bisnis perkayuan telah mengundang banyak pe-ngusaha besar terjun di bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pe-ngawasan, banyak aturan di bidang pe-ngusahaan hutan ini yang dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi se-macam “mafia” perkayuan. Semua ini terÂjadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum birokrasi dan ok-num keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penÂduduk setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian darimereka turut terlibat dalam proses “illegal logging” tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi seka-rang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlim-pah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan mata hati/dan moral ok-num-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas betapa pentingnya man-faat hutan dan lingkungan hidup yang les-tari, untuk kehidupan semua makhluk, khu-susnya manusia generasi sekarang dan yang akan dan ReklaÂmasi yang Gagal. Upaya reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi lubang/ tanah terbuka bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena prosesnya memer-lukan waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi karena banyak disalahgu-nakan. Hal ini membuktikan bahwa penge-tahuan dan kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik di kala-ngan pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk me-ngelabui reboisasi yang tidak sesuai ketentuan manipulasi reboisasi.Me-ningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat, pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh penÂduduk miskin di pedesaan. Gejala ini juga dimanfaatkan oleh para spekulan penduduk kota untuk bekerja sama dengan penduduk miskin pedesaan. Sebagai contoh menga-lirnya kayu jati hasil penebangan liar dari hutan negara/perhutani ke industri meubeldi kota-kota besar di Pulau Jawa, sebagai satu bukti dalam hal ini. Peningkatan jum-lah penduduk miskin dan pengangguran diperkirakan akan memperbesar dan mem-percepat kerusakan hutan/lingkungan yang makin parah. Hal ini merupakan lampu merah bagi masa depan generasi kitaLemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingÂkungan dan khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan tiÂdak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraÂturan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan peraÂdilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin ma-raknya perusakan hutan/ Masyarakat yang Rendah. KesaÂdaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelesÂtarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingÂkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena ku-rangnya pengetahuan masyarakat atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin ma-syarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan Lingkungan. Pencemaran lingÂkungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru di era reformasi ini terutama di Pulau Jawa semakin memprihatinkan. DisiÂplin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tem-patnya. Para pelaku industri berdasarkan hasil penelitian tidak ada yang mengelola sampah industri dengan baik. Sebanyak 50% dari 85 perusahaan hanya mengelola sampah berdasarkan ketentuan minimum. Sebanyak 22 perusahaan 25% mengelola sampah tidak sesuai ketentuan bahkan ada 4 perusahaan belum mengendalikan penÂcemaran dari pabriknya sama sekali. Pencemaran udara semakin meningkat ta-jam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan CO2 dari kendaraan yang lalu lalang semakin meÂningkat sejalan dengan pertambahan jum-lah kendaraan itu sendiri. Dengan dipro-duksinya kendaraan murah yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dam-paknya akan terjadi lonjakan tingkat penÂcemaran udara yang luar sebagai lembaga ter-tinggi dalam suatu Negara berwenang un-tuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk meng-implementasikan hal tersebut maka pemeÂrintah melakukan hal-hal sebagai berikutmengatur dan mengembangkan kebijak-sanaan dalam rangka pengelolaan lingÂkungan hidupmengatur penyediaan,peruntukan,penggunaan,pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sum-ber daya alam, termasuk sumber perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetikamengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosialmengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlakuTetapi, akibat derasnya arus kapi-talisme global telah mendorong intervensi dari negara untuk melakukan proses regu-lasi. efek yang ditimbulkan adalah terja-dinya konspirasi antara penguasa modal dengan birokrasi untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dengan dalih investasi untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu masyarakat lokal, mem-punyai cara yang berbeda dalam meng-eksploitasi lingkungan, sehingga menim-bulkan konflik lingkungan ini yaitu adanya kebijakan pemerintah yang dilak-sanakan oleh pengusaha seringkali tidak memihak kepada masyarakat. Selain itu daÂlam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, seringkali masyarakat tidak dilibatkan, padahal dalam kebanyakan ka-sus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun ini menunjukkan bahwa posisi antara negara dengan masyarakattidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang ber-beda-beda, baik di daerah rural maupun urÂban. Degradasi lingkungan tersebut harus disadari akan merusak infrastruktur pere-konomian dan mengganggu kehidupan so-sial. Di wilayah perkotaan ditandai oleh semakin tingginya pencemaran udara serta semakin meluasnya wilayah perkotaan yang tercemari dengan pencemaran udara tersebut. Kondisi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya kerusakan sumberdaya alam maupun banyaknya industri pen-cemar, sejalan dengan pertumbuhan eko-nomi maupun perkembangan penduduk. Di daerah rural degradasi lingkungan bisa terlihat salah satunya dengan makin me-nipisnya kawasan perhutanan yang diaki-batkan oleh kebakaran maupun pemba-lakan liar oleh toke toke dan juga masya-rakat sekitar. Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut, akan bisa diminimalisir apabila ada kerjasama penge-lolaan sumberdaya alam antara Pemerintah Negara dengan perangkatnya, dan masya-rakat lokal dengan kearifan dan penge-tahuan local yang Kearifan dan Pengetahuan Lokal dalam MasyarakatNygren 1999 mengemukakan PeÂngetahuan lokal merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan local dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan local tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan local yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. PengeÂtahuan local dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. PengeÂtahuan dalam bentuk pragmatis menyang-kut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam benÂtuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah unÂreason. Untuk yang pragmatis ini, pe-ngetahuannya berubah, karena berhu-bungan dengan pihak lain dari wilayah-nya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki meto-dologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar meme-lihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal negara timur, yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupaÂkan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler, 2007, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, buÂdaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah buÂdaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah kearifan local adalah yang dilakukan di kawasan kars gunung sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian besar memiliki mata penca-harian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar cekungan-cekungan kars doline sebagai lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Lahan pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan teknologi-teknologi konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek moyangnya secara turun-temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk mencapai hasil yang lebih baik sesuai deÂngan perkembangan dan perubahan lahan. Kebutuhan akan air sebagai penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi permasa-lahan yang dialami oleh para petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan sumber-daya alam yang ada memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengelola-nya secara manual, kondisi ini mengakibat-kan adanya usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara tradisional dengan memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung unsur mitos atau kepercayaan dan kebuda-yaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidu-pan masyarakat yang berlaku di sekitar kawasan Gunung harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan menge-lolanya, pengembangan teknologi seder-hana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga ke-seimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan proÂgram-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha me-ngembangkan sumberdaya alamnya. Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi wilayah yang kekeringan dan kekuranganair walaupun memiliki cadangan air bawah permukaan yang sangat besar jumlahnya, faktor geologis pada wilayah ini sebagai kawasan batugamping yang mengalami proses pelarutan, mengakibatkan pada ba-gian permukaan kawasan ini merupakan daerah yang kering, masyarakat memanÂfaatkan sumber-sumber air dari telaga-te-laga kars dan gua-gua yang memiliki sumÂber-sumber air. Kearifan lingkungan maÂsyarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya dilakukan secara bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan melakukan perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-larangan kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang akan ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap dijaga kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga, banyak program-program peme-rintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam usaha pemanfaatan dan penge-lolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi proÂgram-program yang telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai referensi dalam menÂjalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan kars memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses pelarutan yang terjadi mengaÂkibatkan adanya perubahan karakteristik dari batugamping, banyak pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seha-rusnya dapat menyuplai kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu tertentu akibat dari pe-nyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh adanya proses pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak danau-danau kars yang tidak dapatberfungsi lagi akibat adanya pembangunan waduk di sekitar danau dan dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampu-ngan air dengan asumsi akan dapat me-nambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini harus di bayar mahal dengan hilang-nya atau tidak berfungsinya danau akibat dari hilangnya sumber air yang ada masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-re-kahan batuan hal ini disebabkan oleh hiÂlangnya lapisan lumpur terarosa yang berÂfungsi sebagai penahan air. Sehingga ba-nyak sistem perpipaan dan penampung air yang dibangun hanya menjadi sebuah mo-numen yang tidak dapat berfungsi. Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah GuÂnung Kidul telah hidup dalam kondisi ke-keringan, namun mereka punya cara ter-sendiri untuk beradaptasi dengan alam di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hi-dupnya untuk kebutuhan sehari-hari dan lahan pertanian, ini terus berlangsung hing-ga sampai saat ini walaupun banyak orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari penghidupan di tempat lain yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masyaÂrakat di Kawasan Kars Gunung Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi budaya lokal yang masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak kearifan lingkungan di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan dan sumber-daya air serta untuk mengembangkan pari-wisata di kawasan kars baik wisata alam maupun wisata minat khusus gua. Petrasa Wacana, 2008.Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terja-dinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng di luar kebia-saan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat me-ningkatnya tingkat aktivitas Gunung MeÂrapi sehingga mereka pindah itu, dalam menghindari ri-siko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam mem-bangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berke-lompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan. Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan deÂngan Gunung Merapi. Maksudnya, berda-sarkan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk ha-lus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditaf-sirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama contoh kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok masyarakat lokal di Tatar Sunda. Di masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya dan Kampung Dukuh di Garut selatan, misalnya, pembangunan permukiman dan pemanfaatan lahan lain-nya senantiasa diatur secara tradisional deÂngan sistem zonasi. Dengan demikian, sisÂtem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. Johan, 2009Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum punya teknolo-gi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kea-rifan lokal yang telah menyelamatkan ba-nyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Sebagai contoh kearifan lokal yang menyelamatkan yang dikembangkan ma-syarakat pulau Simelue yang selamat dari tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyelamatkan ribuan manusia. Ma-syarakat Pulau Simelue belajar dari keja-dian bencana tsunami yang terjadi pada be-berapa puluh tahun yang lalu tahuh 1900 dan mengembangkan sistem peringatan di-ni dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan ca-ra menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk pulau Simelue. Istilah ini yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat pulau Simelue padahal secara geografis le-taknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari pulau Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera ber-lari secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Contoh keaÂrifan lokal ini sering dimuat di media dan disiarkan lewat media elektronik, walau begitu saat Pantai Pangandaran terkena tsuÂnami bulan Juli 2006 masyarakat setempat tidak segera lari meninggalkan pantai ma-lah mendekati pantai untuk mengambil ikan sehingga banyak korban tsunami saat itu. Contoh lain ditunjukkan oleh seorang KH Muzamil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren ponpes Al Hasan yang terletak di Desa Kemiri, Panti, Jember karena kepedulian terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, beliau bisa meÂnyelamatkan 400 santrinya karena melihat keganjilan, dimana dalam kondisi hujan agak lebat tetapi air sungai tidak banjir lagi malah surut. Ternyata dibagian hulu telahterjadi longsor yang menutup atau mem-bendung sementara aliran sungai. Begitu bendung tanah jebol maka terjadi banjir bandang. Semua bisa melihat bagaimana seluruh kompleks pondok pesantren teren-dam lumpur dan banyak yang hancur berarti bangsa Indonesia bisa bertahan hidup dengan belajar langsung dari alam dan berusaha terus mengenal “niteni” tingkah laku alam di sekitarnya, sehingga mereka menciptakan banyak keÂarifan lokal yang dianut oleh komunitas masyarakat sekitarnya. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir, angin ribut, keke-ringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan dikarena-kan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional. Seperti kita ketahui bersama sekitar pertengahan bulan Juni 2006 G Merapi di Yogyakarta terjadi pe-ningkatan aktivitas sampai level siaga 1 dengan konsekuensi masyarakat yang ber-mukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Marijan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap te-nang-tenang saja. Kenapa mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang “Memang ada apa?, gunung Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak me-ngarah kesini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi. Mbah Marijan pun bisa melihat si-nar putih cleret yang keluar dari puncak gunung merapi menuju ke bawah yang menandakan akan keluarnya awan panas wedus gembel yang keluar searah dengan arah cleret. Bulan Oktober-Nopember 2007 gunung Kelud aktif dinyatakan pada level awas oleh pihak Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG Bandung dan tegas-tegas mengatakan bah-wa secara teoritis dengan tingkat kegem-paan, perubahan temperature, tingkat de-formasi dan berdasarkan sejarah letusan di masa lampau maka mestinya gunung kelud sudah meletus. Oleh kerenanya semua orang yang bermukim di radius 10 km harus diungsikan. Bagi masayarakat yang pernah mengalami letusan tahun 1919, 1951, 1966 dan 1990 menolak mengungsi karena belum ada tanda-tanda alam seperti 1 turunnya he wan-he wan dari puncak, 2 burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, 3 pohon-pohon di sekeliling kawah belum ada yang mati layu/kering. Dan lagi sang sesepuh seperti mbah Marijan yang dikenal dengan Mbah Ronggo mengatakan bahwa disamping beÂlum ada tanda-tanda tersebut, dia belum mendapatkan “wangsit”. Apa yang dilaku-kan oleh mbah Ronggo dan masyarakat gunung kelud merupakan upaya masyaÂrakat lokal local wisdom untuk memaha-mi perilaku alamiah gunung berapi berdaÂsarkan pengalaman sejarah letusan Mbah Ronggo ngotot tidak mau mengungsi. Dan kita lihat bersama drama gunung kelud tidak diakhiri dengan letusan walau secara intrumental teknologi mestinya meleÂtus. Berdasarkan beberapa literatur perubaÂhan perilaku hewan seperti hewan-hewan langka turun gunung, hewan-hewan atau burung-burung terdiam tidak bersuara ada kesunyian atau binatang liar yang tiba-tiba menjadi mudah ditangkap atau binatang peliharaan yang bertingkah laku aneh di sangkarnya, sering muncul sebelum pe-ningkatan fase letusan gunung berapi. Ada berbagai kemungkinan penyebab kejadian ini antara laian karena adanya gelombang dan radiasi elektromagnetik yang keluarbersamaan dengan bergeraknya magma ke-atas sehingga menimbulkan regangan dan retakan. Akibat tekanan magma pada lapi-san batuan menimbulkan regangan dan berakibat munculnya gelombang elekÂtromagnetik, dan retakan yang menimÂbulkan radiasi magnetic. Gelombang dan radiasi elektromagnetik berfrekuensi ren-dah hingg tinggi. Rendah bila regangan dan radiasi diakibatkan oleh tekanan magma yang rendah pula, sebaliknya yang regaÂngan dan radiasi elektromagnetik tinggi di-karenakan tekanan magma tinggi. GeÂlombang dan radiasi EM berfrekuensi ter-tentu ini akan mudah dan sudah diterima oleh hewan-hewan sebagai ancaman seÂhingga hewan-hewan tersebut bertingkah laku tidak seperti biasanya. Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur teks lisan yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri. Selain itu, kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat.Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam poÂhon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat borong karamaq yang sama sekali tidak boleh dirambah Basri Andang, 2006. Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya or-ganisasi yang beranggotakan lima orang, dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sisÂtem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masyaÂrakat lokal yang memiliki kearifan lingkuÂngan, seperti lontaraq kitab Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang deÂngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber daÂya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq membersihkan laut yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sisÂtem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an Robinson & Paeni, 2005. Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak maÂsyarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga deÂngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak. Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal perusahaan dan agen kapitalisme global. Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyaÂrakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh Negara, dan juga antara maÂsyarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sumÂberdaya tersebut yang melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masyaÂrakat local dalam perundang-undangan masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third World Political Ecology 2001. Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah lingÂkungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan Bryant dan Beily, ada beberapa asumsi yang mendasari pendeÂkatan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa dis-tribusi biaya dan manfaat yang tidak meÂrata tersebut mendorong terciptanya ketim-pangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga meÂmiliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hu-bungan satu aktor dengan satu aktor yang penting adaÂlah negara state. Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor peng-guna maupun pelindung sumber daya alam, yang karena itu negara juga sering me-ngalami konflik kepentingan. Namun, seÂcara teoretis, banyak kritik terhadap ek-sistensi negara ini, seperti yang disam-paikan Bryant and Beiley 2001. Salah sa-tunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha menge-jar pembangunan ekonomi, termasuk beruÂsaha menarik perusahaan multinasional un-tuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan ling kedua adalah pengusaha, baik perusahaan multinasional maupun na-sional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme. Aktor lain-nya aktor rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab, menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, do-minasi terhadap alam terkait dengan domi-nasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komo-ditas dan nilai tukar semata sehingga dehu-manisasi menjadi tak terhindarkan dan be-gitu pula eksploitasi terhadap ini terjadi juga karena aktor-aktor lain, seperti negara, pengusaha, atauÂpun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dibanding rakyat. Bahkan, dalam kasus Freeport ini perusahaan multinaÂsional memiliki kekuatan yang lebih besar daripada negara. Inilah yang kemudian membuat geram lembaga swadaya masya-rakat sebagai aktor penting lainnya sehingÂga menuntut ditutupnya sementara pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih meman-dang situasi dan kondisi lokal agar pende-katan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan berva-riasi sesuai dengan situasi setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sementara itu, Agama-agama yang dipeluk oleh masyaÂrakat Indonesia, mulai dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga terÂbukti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian apa yang dimak-sud dengan pengetahuan ilmiah yang oleh lowe dinamakan sebagai reason bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan suatu permasalahan secara ilmiah, tetapi ada juga yang unreason dalam hal ini pengetahuan local yang tidak bisa diabaikan degradasi lingkungan adalah adanya pengeksploitasian sumberÂdaya alam oleh manusia, baik oleh peme-rintah, perusahaan maupun masyarakat yang mempunyai kepentingan dan akses tersendiri. Dengan demikian terjadi kon-testasi dan konflik diantara mereka. Akibat dari kontestasi tersebut, menimbulkan ketidakmerataan pendapatan ekonomi an-tara masyarakat local dengan perusahaandan pemerintah. Ironisnya hasil dari sum-berdaya tersebut sebagian besar masuk ke Negara Negara maju. Negara maju tinggal membayar, dan Negara kita menghabisi sumberdayanya. Hal tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke, sebab keberhasilan pembangunan dinilai dari pendapatan perkapita. Dampak dari eks-ploitasi tersebut mengakibatkan bencana alam seperti banjir, rusaknya hayati ke-lautan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam pengeksploitasian sumberdaya alam, tidak bisa mengabaikan kearifan local, sebab ke-arifan local berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras lingkungan. Demikian juga halnya dengan pengetahuan local yang selama ini dianggap tidak ilmiah, tidak mempunyai metode, tetapi dalam penera-pannya bisa terbukti keberadaannya dalam meminimalisir bencana sebagai akibat dari degradasi dan fenomena PustakaAgrawal, A, “Indegeneous and Scientific Knowledge Some Critical Knowledge and Development Monitor”, 3 3 3-6. 1995. Amalamien, “Penelitian Ilmiah Berbasis Pengetahuan Lokal”, 2008. Berbagai SumberBryant, Raymond L, Sinead Bailey, “Third World Political Ecology”, Routledge, New York, Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan”, LP3ES, Jakarta, J. Daeng, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis” ,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Poerwanto, “Kebudayaan dan lingÂkungan dalam Perspektif Antro-pologi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Marcuse, “One Dimensional Man Studies in Ideology of Advanced Industrial Society”, Routledge, New York, Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober R, Brown, “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan LingÂkungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992. Lowe, Celia, “Wild Profusion Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago”, Princeton University Press. Sub-topik The Reason for Reason hal 19-23, A, “Local Knowledge in the Environment-Development Discourse From Dicotomies to Situated Knowledge”, Critique of Anthropology 19 3 267-288, M, Chapter 16. Political Ecology, in Eric Sheppard and Trevor J. Barnes [eds.], A Companion to Economic Geography. Oxford Blackwell Publisher Ltd. sub-topik tentang knowledge, power, practice halaman 263-265, Bagikan Related Posts Page load link Go to Top
– Geografis merupakan istilah yang sudah tidak asing didengar. Istilah geografi berasal dari bahasa Yunani “geo” yang berarti bumi dan “graphy” yang berarti menulis. Sehingga geografi mengajarkan manusia mempelajari bumi tempat mereka tinggal dan kondisi di dalamnya. Bumi memiliki karakteristik geografis yang berbeda di setiap daerahnya. Ada kutub utara dan kutub selatan yang diselimuti es sepanjang tahun, ada daerah gurun, ada daerah pegunungan, ada lautan, ada hutan hujan dan lanskap geografis geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya. Hal ini mampu membentuk kehidupan sosial masyarakat. Dilansir dari National Geographic, sistem fisik dan karakteristik lingkungan tidak dengan sendirinya menentukan pola aktivitas manusia, namun memengaruhi dan membatasi pilihan yang dibuat orang. Berikut pengaruh karakteristik geografis, yaitu Perbedaan siang dan malam Posisi geografis di bumi sangat memengaruhi kehidupan sosial maupun budaya. Misalkan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan Islandia yang terletak dekat dengan kutub utara. Baca juga Karakteristik Geografis Malaysia Letak geografisnya membuat Indonesia memiliki siang selama 12 jam, tetapi Islandia hanya memiliki siang selama 3-5 jam. Hal tersebut membuat masyarakat Islandia harus beradaptasi dengan kegelapan. Mereka bangun dibantu dengan alarm, karena matahari tidak muncul saat pagi. Mereka menyalakan lampu dalam waktu yang lama, sehingga pemerintahnya juga menyediakan listrik dengan murah. Orang Islandia terbiasa melakukan segala macam aktivitas dalam kondisi gelap seperti malam. Sedangkan di Indonesia, sinar matahari bisa membantu manusia untuk bangun. Pergi sekolah, bekerja, berolahraga, dan bertemu teman dalam kondisi langit yang terang. Lalu saat malam gelap datang, seseorang bisa beristirahat. Terdapat perbedaan aktivitas siang dan malam. Namun, di Islandia matahari tidak bisa dijadikan patokan aktivitas. Perbedaan iklim Di bumi, menurut kondisi geografisnya masing-masing daerah dibagi ke dalam empat iklim. Keempat iklim tersebut adalah iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin. Dilansir dari Sociology Discussion, iklim memberikan pengaruh yang tidak dapat disangkal misalnya jenis pakaian yang digunakan. Baca juga Karakteristik Geografis ThailandJenis pakaian digunakan agar manusia bisa bertahan dalam kondisi iklim. Selain jenis pakaian, iklim juga memengaruhi sistem transportasi, masa panen dan bercocok tanam, infastruktur, juga keperluan rumah tangga untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Iklim juga memangaruhi kebudayaan manusia, misalnya pemakaman. Misalnya di daerah yang dingin dan dilapisi es, penguburan dalam tanah sulit dilakukan. Tanah yang jarang dan kondisi yang dingin membuat jenazat sulit terdekomposisi. Di Tibet yang dingin bahkan ada suatu kebudayaan yang disebut pemakaman langit. Yaitu pemakaman dengan cara memberikan jenazah pada burung nasar untuk dimakan agar orang tersebut bisa pergi ke surga dengan tenang. Topografi Dilansir dari Sciencing, topografi merupakan strudi tentang relief yang menggambarkan ketinggian dan elemen geografis seperti sungai, danau, gunung, juga kota. Kondisi topografi kota cenderung mudah dijamah sehingg orang dari luar bisa masuk bersama dengan teknologi juga kebudayaannya. Hal tersebut membuat kota cenderung lebih maju dan dihuni oleh heterogen dengan kebudayaan yang berbeda. Adapun kondisi topografi yang sulit dijamah, misalnya daerah pegunungan tinggi atau pedalaman hutan tanpa jalan utama. Daerah tersebut cenderung terisolasi dari lingkungannya, membuat orang dari luar susah untuk menjangkaunya. Daerah tersebut cenderung masih belum maju karena sulit terjangkau teknologi. Masyarakatnya juga cenderung homogen dengan kebudayaan yang masi kental. Baca juga Karakteristik Geografis Singapura Ketersediaan air Seseorang yang tinggal di daerah cukup air bersih, akan menganggap air seperti hal biasa. Mereka menggunakan air untuk kebutuhan hidup dan juga kebersihan. Toilet menjadi sumber air yang bersih, beberapa daerah bahkan air kerannya bisa diminum. Mandi juga menjadi suatu kebiasaan wajib bagi mereka. Namun di daerah yang kekurangan sumber air bersih, air dianggap dengan barang yang sangat berharga. Mereka harus jalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air yang belum tentu bersih. Sehingga penggunaan air juga dilakukan seminimal mungkin. Mereka jarang mandi, air digunakan untuk kebutuhan yang lebih esensial seperti minum dan memasak. Hal ini membuktikan bahwa kondisi geografis bukan hanya mempengaruhi pola hidup dan budaya, melainkan juga persepsi seseorang terhadap sesuatu. Baca juga Jenis-Jenis Pekerjaan Berdasarkan Letak Geografis Ketersediaan sumber makanan Kondisi geografis memengaruhi ketersediaan sumber makanan seperti hewan dan tumbuhan. Masyarakat yang tinggal di pegunungan, memiliki berbagai tumbuhan dan hewan darat untuk dikonsumsi. Masyarakat yang tinggal di pantai, cenderung mengonsimsi lebih banyak ikan dan hasil laut. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 1Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan Antariksa E-mail antariksa E-mail Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya 1. PENDAHULUAN Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis warga kota dan civitas kota; kedudukan warga kota. Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu Antariksa, 2009b. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya cultural heritage yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan street-furniture dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau soft-landscape maupun perkerasannya hard-landscape. Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari Makna Kaerifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata kearifan wisdom dan lokal local. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini 2004112 mengatakan bahwa kearifan lokal local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini 2004112, mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan reinforcement. Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Sartini, 2004112 Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar Sayuti, 2005. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara Sayuti, 2005. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono 200576, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal Eade, 1977. Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 3semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut. Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan Rapoport, 1969. Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh rumah Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje 1985 membuktikan bahwa hunian masyarakat permukiman Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dahulu disebut dengan Kutaradja dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik Lombard, 2006. Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong tata krama peradatan di Aceh untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. Burhan, 2008 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 4Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut Mahayani, 199535 1 Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; 2 Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; 3 Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok Krisna, 2005. Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya Tulistyantoro, 2005. Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang halaman panjang. Menurut Zawawi Imron survey primer 2008, permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura survey primer 2008 dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan kering/tandus menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal. Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat matrilokalitas serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. Dewi, 2008 Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman pola hunian baik internal maupun eksternal. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 5Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama komunal, linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. Permatasari, 2008 Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 sekitar tahun 1914-1918 dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren. Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. Novayanto, 2008 Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka open space/void yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan solid lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. Novayanto, 2008 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture 1973, seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities 1938nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..….. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City 1905, Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan urbanity – wujud kosmopolitan Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 6dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. Kuntowijoyo 200364 Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan. Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik Trancik, 1986, di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar Zahnd, 1999108. Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun building mass dan ruang terbuka open space. Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan urban fabric, serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan Zahnd, 199979. Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk i memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan ii memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual Zahnd, 199970. Secara fisik, sebuah ruang space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya Trancik, 1986. Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district kawasan, node simpul, edge batas serta landmark tengeran Lynch, 1960, kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch 1960 konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya. Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto 2001108, umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi dalam arsitektur dan kota sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 7menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut. Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia Juwono, 200582. Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra Burra Charter, 1981. Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese 1986, merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh 1992, dapat dikategorikan sebagai berikut nilai value dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder 1992423-425 yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala 200329 diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya. 3. KESIMPULAN Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan arsitektur dan kawasan perkotaan, dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 8bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. REFERENSI Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 2 98-112. Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 1 64-78. Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007. Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. Diakses 12 April 2009 Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. Diakses 5 April 2009. Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. Diakses 11 April 2009. Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung Alumni. Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta Djambatan. Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung Alumni. Burhan, Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 3172-189. Diakses 25 April 2009 Dewi, Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 2 94-109. Diakses 27 April 2009 Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London Routledge. Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 2112-124. Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 1 48-66. Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005. Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 2124-133. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya. Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge MIT Press. Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung ITB. Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 2 77-93. Diakses 3 Mei 2009 Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York Plenum Press. Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs. Rypkema, 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 11 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 9Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 2 111-120. Diakses 10 April 2009 Sayuti, 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal. Diakses 12 April 2009. Stelter, 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community 1-7. Trancik, R. 1986. Finding Lost Space Theories of Urban Design. New York Van Nostrand. Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 2 137-152. Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta Kanisius. Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan, Jumat 7 Agustus 2009, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Copyright © 2009 by Antariksa ... Sebagai identitas suatu komunitas, Geertz 1992 menyatakan bahwa kearifan lokal dipraktekkan oleh suatu masyarakat sebagai jati diri, seperti dapat ditemui pada hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan, tata kelola, serta tata cara dan prosedur. Sementara itu, gabungan antara nilai-nilai ke-Semesta-an dengan beragam pandangan hidup tergabung menjadi kearifan lokal yang memotivasi kehidupan masyarakat modern Antariksa, 2009. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa dalam tatanan budaya, identitas suatu masyarakat atau tempat tertentu dihadirkan melalui kearifan lokal Agusintadewi, 2016. ...... Kearifan lokal menjadi proses menemukenali potensi dan sifat-sifat alam dalam melanjutkan tradisi. Antariksa 2009 Selain itu, tidak sedikit dongeng, syair, dan cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun dan berkaitan dengan simbol peristiwa alam yang disampaikan pada cerita tersebut. Cerita rakyat, syair, dongeng, dan penamaan suatu tempat merupakan cara yang dilakukan oleh para orang tua dalam menyampaikan pesan atau peristiwa. ...... Masyarakat modern semakin mengabaikan kearifan lokal dan menganggapnya sebagai sesuatu yang kurang penting dan tidak perlu dirujuk lagi, sehingga hubungan antara alamtradisimanusia menjadi terputus Agusintadewi, 2016. Sejumlah pemikiran berdasarkan tradisi tersingkirkan oleh rasionalitas, walaupun pemikiran tersebut memberikan tuntunan hidup Antariksa, 2009. Metafisika dan fenomenologi semakin tidak dikenal, masyarakat modern pun semakin menjauh dari alam. ... Ni Ketut AgusintadewiLocal wisdom of a community is created by the abilities to read natural phenomena. These abilities are practised and inherited over generations through folklores, poetries, or even fairy tales. These become an integral part of the generations. From the folklores, even local knowledge of natural disasters was formed. Unfortunately, not all local wisdom can be known by the modern community, with the intention of many people died after natural disasters happening. This article describes how local knowledge that relates to disasters in Indonesia became a disaster mitigation that was ignored by the people today. Knowledge of local wisdom can be used as a disaster preparedness education to regional characteristics and adapted to the characters of the latest disaster. Being close to nature also makes local communities have the potentiality to save independently. Finally, the importance of local wisdom as a fundamental aspect in structuring the curriculum of disaster mitigation in Indonesia is as an appropriate effort to provide an education in dealing with disasters. Keywords culture of responsive disaster, local wisdom, curriculum of disaster mitigation ABSTRAK Kearifan lokal suatu masyarakat tercipta oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam membaca fenomena alam. Kemampuan membaca alam ini dipraktekkan dan dituturkan secara turun-menurun dalam bentuk cerita rakyat, syair, atau pun legenda, sehingga lahirlah pengetahuan lokal mengenai bencana alam. Namun sayangnya, tidak semua kearifan lokal dapat diketahui oleh masyarakat saat ini, sehingga ketika terjadi bencana, banyak korban berjatuhan. Artikel ini memaparkan tentang bagaimana kearifan lokal terkait dengan bencana alam menjadi suatu tindakan mitigasi bencana yang terlupakan oleh masyarakat saat ini. Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat dijadikan muatan pendidikan tanggap bencana yang telah diadaptasikan dengan pola dan ragam bencana terkini pada wilayah tersebut, sehingga masyarakat dapat melakukan penyelamatan secara mandiri. Artikel ini diakhiri dengan pemaparan tentang pentingnya kearifan lokal sebagai basis dalam kurikulum pendidikan kebencanaan di Indonesia sebagai upaya yang tepat untuk mengedukasi masyarakat dalam menghadapi sekaligus menangani bencana. Kata Kunci budaya tanggap bencana, kearifan lokal, kurikulum pendidikan kebencanaan PENDAHULUAN Secara geologis, geomorfologis dan geografis, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana, terutama bencana geologis gempa bumi, gunung meletus dan hidrometeorologi kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan, banjir, dan lain-lain. Potensi bencana setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang beragam, sehingga penanganannya pun haruslah berbeda pula, baik secara nasional maupun lingkungan sekitar. Pemahaman tentang dinamika hubungan alam dan manusia di suatu wilayah sangat mempengaruhi pandangan masyarakat tersebut dalam memperlakukan alam. Untuk mengurangi risiko bencana, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui menumbuhkan kesadaran akan kapasitas dirinya dalam mitigasi bencana. Pengalaman empirik manusia melalui interaksi dengan lingkungannya akan menghasilkan pengetahuan lokal tentang hubungan alam-tradisi-manusia. Namun saat ini, beragam pengetahuan lokal yang dimiliki oleh berbagai masyarakat tradisional di Indonesia perlahan-lahan mulai punah karena tidak didokumentasikan secara baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Prakteknya, pengetahuan dan kearifan lokal dapat disinergikan secara empirik dan rasionalistik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana alam dengan memberdayakan partisipasi masyarakat lokal.... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan tempat atau ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi terjadi, sedangkan kearifan wisdom atau kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan akal pikirannya dalam menyikapi sesuatu peristiwa, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang memiliki makna atau nilai tertentu, bisa juga berupa pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ...... Cultural expression is anything related to traditional and historical elements in the physical and non-physical forms that develop and is embedded in people's lives represented through symbols, signs, and activities. Moreover, this definition estimates the value of a place to help understand the past and enrich the present while still being valuable for future generations Antariksa, 2009. ...Natural and cultural aspects significantly affect architectural form development. High-rise building contributes to produce a high expression in the public space vision since it is gigantic. As an architectural aspect, a high-rise building has 2 main aspects, including Cultural Expression Culex and Climatic Expression Climex on its envelopes. This study aimed to design an interpretation method for Culex and Climex performance acceptance in high-rise building envelopes in Phinisi Tower, Makassar, Indonesia. Three theories, including gestalt perception, triadic semiotics, and tropical design or Critical Tropicalism were applied. Moreover, categorization, interpretation, and TRNSYS software simulation were used to process and analyze data from respondents and observations. This study led to the formation of an expression interpretation called Identification, Contextualization, and Implementation, abbreviated as "ICI." Culex was categorized into 2, including historical and traditional contexts. Climex also were categorized into 2, including historical and traditional contexts, and envelope configuration and geometry inter floors changes. There were 5 steps for interpreting the high-rise building envelope expression, including 1 Observational perspectives determination, 2 Organizing Gestalt principal basic expressions, 3 Culex and Climex contextualization, 4 Classification of the expression-creating element categories, and 5 Performance acceptance, inclusive or exclusive categorization. Generally, this method can contribute to designing high-rise buildings related to cultural and climatic elements. Key words Method, Interpretation, Expression, Envelope, Climatic, Cultural, Building, High-rise... Mitos Aceh. Banda Aceh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Malang PPI Rektorat Dahliani, Soemarno, I., & Setijanti, P. 2015. Local Wisdom In Built Environment In Globalization Era. International Journal ofEducation and Research, II ... Mukhammad FatkhullahDalam pariwisata, eksotisme budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan. Akan tetapi, tidak semua budaya menghasilkan dampak yang sama. Beberapa justru menjadi penghambat upaya mengembangan masyarakat, terlebih pada upaya eksplorasi sumberdaya alam potensial untuk menunjang tujuan pembangunan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memberikan kontribusi pada sektor pariwisata, dengan menggunakan metode eksploratis berdasarkan studi literatur. Hasilnya, budaya masyarakat lokal mampu mendukung sektor pariwisata dengan syarat terdapat unsur kearifan didalamnya. Adapun unsur tersebut dapat bersumber dari Agama, bahkan takhayul sekalipun. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku pada komunitas yang homogen. Takhayul yang ada pada masyarakat yang heterogen hanya akan menimbulkan keacuhan masyarakat, hingga penelantaran lingkungan. Adapun upaya untuk menghapus takhayul dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan aspek keagamaan. Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa pengembangan wisata berbasis budaya tetap dapat diupayakan dengan mempertimbangkan 1 regulasi yang beroritentasi pada pengembangan masyarakat dan berwawasan lingkungan, 2 pengembangan yang berfokus pada keunikan dan identitas lokal, serta 3 strategi pemasaran yang menekankan pada pengalaman spiritual.... Local wisdom in architecture can be seen from time and place that the local wisdom in terms of architecture comes from the past within the local people that carry out the value of local wisdom in persistent and continuous until now. Because the context of local wisdom applies to the local environment, based on local community thinking and who influence it, so that in each local wisdom to the other will be different and local in characteristic [6] and [2] So it needs a study of the wisdom of architectural locality regarding the wisdom values that can be applied in accordance with today conditions. Thus, architectural civilization is not trapped in the past, as science and architecture continue to evolve, automatically there will be changes in the development. ...... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yakni; lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan ruang interaksi tempat peristiwa atau situasi tersebut terjadi, sedangkan kearifan wisdom sama dengan kebijaksanaan atau dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local, nilai-nilai, pandangan-pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ... Budhi LilyTimor Raya Restaurant comes from the proliferation of places that offer rental services of wedding packages in the city. The initial function of this restaurant was a venue for weddings with supported interior concept. As the time goes by, the restaurant also rented out for other events such as birthdays, graduations, meetings and gathering severance and other events that makes the interior concept incompatible anymore with such events. Flexibility of the interior space is the main problem of this restaurant and to study about it can use the "liquid" philosophy at the meaning of sirih pinang as a local wisdom potential. The purpose of this study is to present an interior design of Timor Raya Restaurant with "liquid" concept that can provide solutions to respond to some of the functions contained. Data collection method is done by observation and interviews and analyze with qualitative method to each element of the interior with the "liquid" concept. The results showed that by the application of "liquid" concept against every element make the interior concept of Timor Raya Restaurant can adjust to every event Liquid, interior, Timor Raya RestaurantAbstrack Restoran Timor Raya hadir dari maraknya tempat-tempat yang menawarkan jasa penyewaan paket pernikahan di Kota Kupang. Fungsi awal restoran ini adalah sebagai tempat berlangsungnya acara pernikahan dengan konsep iterior yang mendukung. Berjalannya waktu restoran ini disewakan juga untuk acara-acara lain seperti ulang tahun, wisuda, pertemuan dan temu pisah serta acara lainya yang mengakibatkan konsep interior yang ada tidak cocok dengan acara-acara tersebut. Masalah fleksibilitas ruang interior merupakan masalah utama dari restoran ini dan untuk mengkajinya dapat menggunakan filosofi “cair” pada makna sirih pinang sebagai potensi kearifan lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghadirkan sebuah desain interior Restoran Timor Raya dengan konsep “cair” yang dapat memberikan solusi untuk merespon beberapa fungsi yang diwadahi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara serta menganalisisnya dengan metode kualitatif terhadap setiap elemen interior dengan konsep “cair”. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi konsep ”cair” terhadap setiap elemen membuat konsep interior Restoran Timor Raya dapat menyesuaikan dengan setiap acara yang kunci Cair, interior, restoran timor rayaDewi MerdayantyKelurahan Sungai Jingah berbatasan dengan Sungai Martapura, dimana kondisi sungai ini hampir menetap sepanjang tahun dan mengalami musim pasang – surut yang tidak begitu lama sangat bermafaat bagi transportasi air dan lokasi jual beli di atas perahu, namun manfaat air sungai mulai berkurang dengan dibuatnya sarana dan prasarana darat seperti pembangunan jalan dan jembatan, masuknya air PDAM menggantikan manfaat air sungai untuk keperluan sehari-hari membuat lokasi sungai sepi aktivitas masyarakat, mengakibatkan pelaku usaha perahu/kapal sungai baik sebagai alat transprotasi dan alat angkut bagi jual-beli gulung tikar. Suasana seperti ini diperlukan dorongan Pemerintah agar masyarakat selalu kreatif dan inovatif melalui upaya pengembangan keunggulan setempat, seperti pengembangan pariwisata kampung tua rumah banjar, museum wasaka, kampung sasirangan, mawarung baimbai, agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk, kebun sehat, taman satwa, pengrajin akar pasak bumi dan budidaya madu sisi kekuatan untuk tatakelola potensi wisata Kelurahan Sungai Jingah cukupbanyak mempunyai lahan untuk pariwisata untuk dapat dikembangkan, kelemahan yang dimiliki sekarang seperti kurangnya sarana dan prasarana dalam mendukung dan mengembangkan pariwisata. Adapun peluang untuk pengembangan dan tatakelola wisata tersebut sangat tinggi karena pemasaran dan dukungan masyarakat yang cukup tinggi, sedangkan tantangan dalam mengelola potensi wisata adalah persaingan harga pasar dan kualitas bahan seperti halnya dalam pembuatan kain sasirangan dan pada kuliner harus mampu mempertahankan harga dan rasa agar dapat memberikan kepuasan kepada konsumen dan tidak membuat mereka merasa kecewa. Dari wisata kampung tua menuju wisata mesium wasaka dan wisata kuliner mawarung baimbai serta witasa kampung sasirangan dan agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk dapat dilakukan melalui susur sungai namun perlu adanya dukungan Pemerintah terutama dalam hal pengerukan sungai yang akan dilewati untuk kenyamanan dan kelancaran wisata susur sungai bagi Nurina Kartika IskandarCama Juli RianingrumAhadiat Joedawinatap>Abstract Baitul Muttaqien Mosque is one of the mosques in Indonesia, precisely in Samarinda, East Kalimantan with a variety of facilities and infrastructure in its interior, so it is dubbed the Islamic Center Mosque. The application of architectural and interior elements applied reflects two different cultures namely Middle Eastern culture and local culture, East Kalimantan. This is not just to beautify the mosque building, but there is a philosophical content contained in the two different cultural elements. Keywords culture, architecture and interior of the mosque, Islamic architecture, Baitul Muttaqien mosque Samarinda. Abstrak Masjid Baitul Muttaqien merupakan salah satu Masjid di Indonesia tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur dengan berbagai sarana dan prasarana yang ada didalamnya sehingga dijuluki Masjid Islamic Center. Penerapan elemen arsitektur dan interior yang diaplikasikan mencerminkan dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya Timur Tengah dan budaya lokal yakni Kalimantan Timur. Hal ini bukan sekedar untuk memperindah bangunan masjid itu saja, akan tetapi ada muatan filosofis yang dikandung dari kedua unsur budaya yang berbeda tersebut. Kata kunci Kebudayaan, Arsitektur dan interior masjid, arsitektur Islam, masjid Baitul Muttaqien Samarinda. Sebelum pengetahuan modern terkait penataan ruang berkembang pesat, sebenarnya masyarakat asli Indonesia pun telah mengenal konsep penataan ruang yang dalam berbagai diskusi dan penelitian ternyata terbukti efektif dan selaras dengan ilmu pengetahuan modern. Cara pandang serta konsep itulah yang dapat kita artikan sebagai bagian dari kearifan lokal. Tulisan yang disusun dengan tinjauan normatif ini mencoba menjelaskan bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam proses penataan ruang di Indonesia, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah kearifan lokal sudah diakomodir melalui regulasi daerah, di mana partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses ini, mengakomodir kearifan lokal berarti mengakui juga eksistensi masyarakat hukum adat seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi. kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis